Tujuan Dasar Ber-Organisasi
Organisasi yang jelas adalah organisasi yang memiliki tujuan yang jelas. Dari yang jelas itulah maka segala upaya yang dilakukan dalam organisasi tersebut senantiasa terarah kepada yang layak/jelas, bukan kepada yang asal-asalan.
Menarik kiranya membahas dan memahami tujuan dasar ber-organisasi, terlebih bagi kita yang aktif dalam organisasi, baik dalam kampus, ataupun di luar kampus. Dalam paparan ini yang memfokuskan pembahasan sebuah organisasi yang tidak asing lagi di benak seluruh mahasiswa, mungkin nampak sebagai suatu pemikiran “subjektif”. Namun, menjadi keharusan bagi diri saya pribadi untuk membahasnya bahwa dalam berorganisasi, haruslah sesuai ajaran fitrah seorang manusia.
HMI dan Tujuannya
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi yang lahir dalam totalitas kehidupan bangsa ini. HMI lahir untuk kepentingan yang “menyeluruh”, bukan kepada kepentingan kelompok ataupun individu. HMI adalah manifestasi dari kepedulian para pejuangnya untuk ikut berandil dalam menegakkan Republik Indonesia sekaligus mempertahankan dan menyiarkan sebuah “Kebenaran”. Hal ini bisa dibuktikan dari kiprah HMI dalam setiap perjalanan sejarah bangsa ini.
Dalam totalitas tersebut, ia lahir dengan berlandas pada sumber nilai yang “benar”, berstatus sebagai organisasi mahasiswa, berperan sebagai media perjuangan, berfungsi sebagai wadah perkaderan, dan tentunya tetap bersifat independen dalam berjuang dan mengkader para penerus cita-cita bangsa ke depannya.
Menilik berbagai amanah dan tanggungjawab yang senantiasa harus diemban dalam Himpunan ini, maka HMI merumuskan tujuannya yang terdiri dari dua bagian, yakni: (1) Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Mempertinggi Derajat Rakyat Indonesia, dan (2) Menegakkan dan mengembangkan ajaran akan “Kebenaran”. Dari rumusan tujuan tersebut, ditetapkanlah tujuan utama sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 AD/ART HMI: “Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi, Bernafas Islamis, dan Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur” yang pada akhirnya disebut sebagai “Lima Kualitas Insan Cita.[1] Dengan tujuan ini, maka pada hakekatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam pengertian kuantitatif semata, sebagaimana yang dipertontonkan organisasi di luar dirinya, melainkan secara kualitatif sebagai lembaga independen dalam mencetuskan pengabdian dan pengembangan ide, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing kader-kadernya sebagai upaya meraih tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif.
Trilogi Wawasan Ke-HMI-an
Sejak saat didirikannya pada tanggal 5 Februari 1947 HMI memiliki trilogi wawasan dalam ber-HMI, yakni wawasan Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemahasiswaan dengan berbagai aspek pemikiran awalnya.[2]
Dari rumusan rumusan tujuannya di atas, tergambar jelas bahwa HMI dilahirkan hanya untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyatnya, dimana berbagai aspek pemikirannya bisa kita simak, yakni Aspek politik: membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan; Aspek pendidikan: mencerdaskan kehidupan bangsa; Aspek ekonomi: mensejahterakan kehidupan rakyat; Aspek Budaya: membangun budaya-budaya yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia; dan Aspek hokum: membangun hukum yang sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Tak hanya itu, menegakkan dan mengembangkan ajaran tentang “Kebenaran” merupakan hal yang mesti dilakukan dalam totalitas bangsa ini. Pengalaman ajaran “Kebenaran secara utuh dan benar sesuai konteks yang ada saat ini, keharusan pembaharuan pemikiran, dan pengembangannya, merupakan hal terpenting juga yang harus diarahkan dalam sebuah perjuangan mengingat bangsa ini semakin carut-marut dari penyalahgunaan ajaran tentang “Kebenaran” tersebut.
Satu hal lagi yang ditekankan dalam HMI adaalah HMI pada dasarnya merupakan organisasi kemahasiswaan yang berorintasi pada keilmuan, dengan kewajiban menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kunci kemajuan. HMI berpendapat bahwa pembangunan Indonesia merdeka jauh lebih berat ketimbang sekadar merebut kemerdekaan. Karena itulah, para calon penerus bangsa ini perlu dibina hingga memiliki dasar pengetahuan yang luas bagi kepentingan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ketiga wawasan ini merupakan hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mengutip ungkapan Cak Nur: “Karena Keindonesiaannya, maka para anggota HMI sebagai insan akademis yang harus pertama kali diharapkan untuk berkembang dan mengembangkan diri dengan meng-Indonesia secara penuh. Bagi para anggota HMI dan alumninya, tidak ada pilihan lain selain meng-Indonesia, begitu pula sebaliknya tidak ada pilihan bagi Indonesia selain menerima kehadiran HMI dan alumninya. HMI adalah suatu gejala gejala Indonesia paling penting dengan dampak kesejarahan yang paling panjang bagi Negara, bangsa, dan tanah air.”[3]
Sejak awal pendiriannya, HMI sudah menegaskan jati dirinya sebagai organisasi mahasiswa yang truth oriented dan siap berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, mengangkat derajat dan martabat segenap bangsa Indonesia. Karena itulah, setiap kader HMI memiliki kewajiban menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kunci kemajuan.
Berdasar penjelasan di atas, maka kiranya dapat diketahui bahwa etos keintelektualan sebagai seorang mahasiswa menjadikan kader HMI sebagai sosok independen yang bebas dari kepentingan golongan. Atas dasar itu, dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, ia mampu mewarnai serta memberikan sumbangan untuk Indonesia yang lebih baik. Jika Jenderal Sudirman mengatakan, “HMI adalah Harapan Masyarakat Indonesia,” sudah merupakan sesuatu yang adanya memang demikian, dan sungguh bukan hal yang berlebihan.
“Kebenaran” Sebagai Motivasi Dasar Tujuan HMI
Lantaran “kebenaran” adalah ajaran fitrah bagi manusia, maka tujuan dari “kebenaran” juga merupakan tujuan kehidupan manusia yang fitri, yakni senantiasa tunduk kepada fitrah kemanusiaannya. Tujuan yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya kesejahteraan yang seimbang, dan itu hanya akan terwujud dengan kerja-kerja kemanusiaan (amal) yang tetap berlandas pada nilai-nilai “kebenaran” (iman) dan juga berpijak pada pengetahuannya (ilmu). Di dalam kerja-kerja kemanusiaan inilah seorang kader umat dan bangsa akan mendapat kebahagiaan dan kehidupan yang ia harapkan. Bentuk kehidupan yang ideal secara sederhana itu dirumuskan dalam “kehidupan yang adil dan makmur”.
Dan untuk menciptakan kehidupan yang demikian, pantaslah kiranya landasan berpijak HMI menegaskan pentingnya kesadaran kader dalam merealisasikan nilai-nilai Pancasila sebagai asas utama bangsa ini: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam rangka mengabdikan diri kepada sebuah kebenaran.
Karena sudah merupakan hakikat dari tujuan HMI yang tak lain dan tak bukan adalah pembentukan kader-kader yang beriman, berilmu, dan juga beramal, maka pengabdian dalam bentuk kerja-kerja kemanusiaan adalah hakikat dari tujuan hidup seorang kader dalam mendapatkan kebahagiaannya. Beriman, berilmu, dan beramal, merupakan budaya yang sejak lahir hingga sekarang masih tetap dipertahankan sebagai budaya yang bukan saja berada dalam wilayah intelektual, tetapi juga transcendental kepada sebuah “kebenaran”. Itulah motivasi dasar dalam ber-HMI.
Dengan terbinanya insan yang diharapkan tersebut, maka terbinalah insan cita HMI yang beriman, berilmu,dan beramal. Tujuan HMI telah memberikan gambaran tentang insan cita HMI ini. Tujuan umum yang hendak dicapai tersebut, telah menjadi garis arah dan titik sentral seluruh kegiatan dan aktivitas perkaderan HMI. Olehnya itu, penulis sangat berharap bahwa yang “positif” haruslah kita contoh, bukan mengenyampingkan begitu saja lantaran “benci” atau mungkin karena perbedaan bendera semata. Berbeda-beda adalah tetap satu jua.
[1] Lihat Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI…, hlm. 125.
[2] Bisa juga dilihat dalam Hariqo Wibawa Sastria, Lafran Pane, Jejak Hayat dan Pemikirannya, hlm. 345.
[3] Kata Pengantar Nurcholis Madjid dalam Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya, hlm. vi.
Komentar
Posting Komentar